Peringatan Hari Santri di pada Tanggal
22 Oktober Tahun 2018 yang mengambil tema "Bersama Santri Damailah Negeri",
dua lembaga telah menyiapkan teks amanat pembina upacara. Pertama adalah
Kementerian Agama dengan Amanat Menteri Agama Pada Upacara Hari Santri dan
kedua adalah Ketua PBNU dengan Amanat Ketua Umum PBNU Pada Peringatan Hari
Santri.
Kedua teks sambutan atau amanat
pembina (inspektur) upacara pada upacara peringatan Hari Santri Nasional, 22
Oktober 2018 tersebut dapat diunduh di bagian akhir artikel ini.
1. Amanat Menteri Agama RI Pada
Upacara Hari Santri 22 Oktober 2018
Amanat Menteri Agama RI, Lukman
Hakim Saifuddin, pada upacara Hari santri 22 Oktober 2018 adalah sebagai
berikut:
AMANAT MENTERI AGAMA Rl
PADA UPACARA HARI SANTRI 22
OKTOBER 2018
Assalamu alaikum wr. wb.
Puji syukur kita panjatkan kepada
Allah SWT. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW.
Saudara-saudara peserta upacara
yang berbahagia,
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun
2015 tentang Hari Santri merupakan babak baru dalam sejarah umat Islam
Indonesia. Mulai hari itu, kita dengan suka cita memperingati Hari Santri yang
merupakan wujud relasi harmoni antara pemerintah dan umat Islam, khususnya bagi
kalangan kaum santri.
Selama ini kalender pemerintah
yang menggunakan hitungan Masehi selalu mencantumkan tanggal merah ketika
bertepatan dengan 1 Hijriyah sebagai Tahun Baru Islam. Tanggal itu memperingati
peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW yang mempertemukan dua kelompok umat Islam,
kaum Muhajirin dari Mekkah dan kaum Anshar sebagai penghuni Madinah. Penduduk
Madinah atau kaum Anshar tidak mempersoalkan momentum itu disebut Hijriyah yang
identik dengan kaum Muhajirin.
Justru sebaliknya, momentum itu
membuahkan persaudaraan dan persahabatan yang sangat bersejarah bagi umat
Islam, sehingga kedua pihak saling berkontribusi membangun masyarakat madani
yang kemudian menjadi contoh ideal peradaban dunia.
Belajar dari sejarah itulah,
pemerintah sudah sepatutnya memberikan apresiasi bagi perjuangan kaum santri
yang secara nyata memberikan andil besar bagi terbentuk dan terjaganya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, peringatan Hari Santri
harus dimaknai sebagai upaya memperkokoh segenap umat beragama agar saling
berkontribusi mewujudkan masyarakat Indonesia yang bermartabat, berkemajuan,
berkesejahteraan, berkemakmuran, dan berkeadilan.
Kalangan pesantren dalam hal ini
adalah para kiai, santri dan elemen umat Islam yang belajar kepada orang-orang
pesantren diharapkan oleh segenap bangsa Indonesia untuk mencurahkan energinya
dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan masyarakat di tengah situasi saat
ini yang penuh dengan berbagai fitnah.
Berkaca pada sejarah, Hari Santri
merujuk pada keluarnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang memantik
terjadinya peristiwa heroik 10 November 1945 di Surabaya yang kemudian
diperingati sebagai Hari Pahlawan. Resolusi Jihad adalah seruan ulama-santri
yang mewajibkan setiap muslim Indonesia untuk membela kedaulatan Tanah Air dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada kenyataannya, Resolusi Jihad
itu telah melebur sekat-sekat antara kelompok agamis, nasionalis, sosialis, dan
seterusnya di kalangan bangsa Indonesia yang beragam latar belakang. Resolusi
Jihad telah menyeimbangkan spiritualitas individu yang bersifat vertikal
(hablun minallah) dengan kepentingan bersama yang bersifat horizontal (hablun
minannas) melalui fatwa ulama yang mendudukkan nasionalisme sebagai bagian dari
sikap religius.
Saudara-saudara peserta upacara
yang berbahagia,
Melalui upacara bendera Hari
Santri kali ini, saya ingin menyampaikan bahwa Kementerian Agama pada
peringatan tahun 2018 ini mengusung tema Bersama Santri Damailah Negeri' . Isu
perdamaian diangkat sebagai respon atas kondisi bangsa Indonesia yang saat ini
sedang menghadapi berbagai persoalan, seperti maraknya hoaks, ujaran kebencian,
polarisasi simpatisan politik, propaganda kekerasan, hingga terorisme.
Hari Santri tahun ini merupakan
momentum untuk mempertegas peran santri sebagai pionir perdamaian yang berorientasi
pada spirit moderasi Islam di Indonesia. Dengan karakter kalangan pesantren
yang moderat, toleran, dan komitmen cinta tanah air, diharapkan para santri
semakin vokal untuk menyuarakan dan meneladankan hidup damai serta menekan
lahirnya konflik di tengah-tengah keragaman masyarakat. Marilah kita tebarkan
kedamaian, kapanpun, dimanapun, kepada siapapun.
Selamat Hari Santri 22 Oktober
2018
Bersama Santri Damailah Negeri
Wassalamu alaikum wr. wb.
Jakarta, 22 Oktober 2018
Menteri Agama Rl
Lukman Hakim Saifuddin
Untuk mengunduh Amanat Menteri
Agama RI pada upacara Hari Santri 22 Oktober 2018, Silahkan Klik di sini
2. Amanat Ketua Umum PBNU Pada
Peringatan Hari Santri Tanggal 22 Oktober 2018
Berikut adalah amanat Ketua Umum
PBNU, Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA., pada peringatan Hari Santri 2018.
AMANAT KETUA UMUM PENGURUS BESAR
NAHDLATUL ULAMA PADA PERINGATAN HARI SANTRI TANGGAL 22 OKTOBER 2018
السالم عليكم ورحمة هللا وبركاته
بسم هللا الحمد هلل الصالة والسالم على سيدنا وموالنا وحبيبنا وشفيعنا
محمد رسول هللا
وعلى اله وصحابته ومن تبع سنته وجماعته من يومنا هذا الى يوم النهضة
أما بعد
Hari ini 4 tahun lalu, Presiden
Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo menerbitkan keputusan bersejarah.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tanggal 22 Oktober
2015 tentang Hari Santri. Keputusan yang bertepatan dengan tanggal 9 Muharram
1437 Hijriyah itu merupakan bukti pengakuan negara atas jasa para ulama dan
santri dalam perjuangan merebut, mengawal, mempertahankan, dan mengisi
kemerdekaan Republik Indonesia. Itulah mengapa Keluarga Besar Nahdlatul Ulama
dan seluruh rakyat Indonesia saat ini mengekspresikan rasa syukur dengan
memperingati Hari Santri.
Pengakuan terhadap kiprah ulama
dan santri tidak lepas dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan Hadlaratus
Syeikh KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, pada 22 Oktober 1945. Di
hadapan konsul-konsul Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura, di Kantor
Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama, Jl. Boeboetan VI/2 Soerabaja, Fatwa Resolusi
Jihad NU digaungkan Hadlaratus Syeikh dengan pidato yang menggetarkan:
“...Berperang
menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh
tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe
tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan
kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran
tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep kalaoe dikerdjakan
sebagian sadja…).”
Tanpa Resolusi Jihad NU dan
pidato Hadlaratus Syeikh itu, tidak akan pernah ada peristiwa heroik perlawanan
rakyat tanggal 10 November di Surabaya yang kelak dikenal dan diperingati
sebagai Hari Pahlawan.
Kiprah santri teruji dalam
mengokohkan pilar-pilar NKRI berdasarkan Pancasila dan bersendikan Bhinneka
Tunggal Ika. Santri berdiri di garda depan membentengi NKRI dari berbagai ancaman.
Tahun 1936, sebelum Indonesia merdeka, kaum santri menyatakan Nusantara sebagai
Dârus Salâm. Pernyataan ini adalah legitimasi fikih berdirinya NKRI berdasarkan
Pancasila. Tahun 1945,
demi persatuan dan kesatuan
bangsa kaum santri setuju menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Tahun
1953, kaum santri memberi gelar Presiden Indonesia Ir. Soekarno sebagai
Waliyyul Amri ad-Dlarûri bis Syaukah, pemimpin sah yang harus ditaati dan
menyebut para pemberontak DI/TII sebagai bughat yang harus diperangi. Tahun
1965, kaum santri berdiri di garda depan menghadapi rongrongan ideologi
komunisme. Tahun 1983/1984, kaum santri memelopori penerimaan Pancasila sebagai
satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan bahwa NKRI
sudah final sebagai konsensus nasional (mu’âhadah wathaniyyah). Selepas
Reformasi, kaum santri menjadi bandul kekuataan moderat sehingga perubahan
konstitusi tidak melenceng dari khittah 1945 bahwa NKRI adalah negara-bangsa,
—bukan negara agama, bukan negara suku— yang mengakui seluruh warga negara
memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan konstitusi, tanpa diskriminasi
berdasarkan suku, ras, agama, dan golongan.
Untuk menginsyafkan semua pihak
dan mengingatkan kita sendiri selaku kaum santri, kenyataan itu perlu diungkapkan:
betapa besar saham kaum santri dalam proses berdiri dan tegaknya NKRI. Tanpa
kiprah kaum santri, dengan sikap sosialnya yang moderat (tawassuth), toleran
(tasâmuh), proporsional (tawâzun), lurus (i’tidâl), dan wajar (iqtishâd), NKRI
belum tentu eksis hingga hari ini. Negeri-negeri Muslim di Timur Tengah dan
Afrika sekarang remuk dan porak poranda karena ekstremisme dan ketiadaan
komunitas penyangga aliran Islam wasathiyyah.
Momentum Hari Santri hari ini
perlu ditransformasikan menjadi gerakan penguatan paham kebangsaan yang
bersintesis dengan keagamaan. Spirit “nasionalisme bagian dari iman” (االيمان من الوطن حب) perlu terus
digelorakan di tengah arus ideologi fundamentalisme agama yang mempertentangkan
Islam dan nasionalisme. Islam dan ajarannya tidak bisa dilaksanakan tanpa tanah
air. Mencintai agama mustahil tanpa berpijak di atas tanah air, karena itu
Islam harus bersanding dengan paham kebangsaan. Hari Santri juga harus digunakan
sebagai revitalisasi etos moral kesederhaan, asketisme dan spiritualisme yang
melekat sebagai karakter kaum santri. Etos ini penting di tengah merebaknya
korupsi, narkoba, LGBT dan hoax yang mengancam masa depan bangsa.
Hari ini santri juga hidup di
tengah era digital. Internet adalah bingkisan kecil dari kemajuan nalar yang
menghubungkan manusia sejagat dalam dunia maya. Ia punya aspek manfaat dan
mudharat yang sama besar. Internet dapat digunakan untuk menebarkan pesan-pesan
kebaikan dan dakwah Islam, tetapi juga bisa dipakai untuk merusak harga diri
dan martabat kemanusiaan dengan ujaran kebencian, fitnah dan hoax. Santri perlu
‘memperalat’ teknologi informasi sebagai media dakwah dan sarana menyebarkan
kebaikan dan kemaslahatan serta mereduksi penggunaannya yang tidak sejalan
dengan upaya untuk menjaga agama (والعقل الدين حفظ),
jiwa (النفس حفظ), nalar (العقل حفظ), harta (المال حفظ), keluarga (النسل حفظ), dan martabat (العرض حفظ) seseorang. Kaedah
fikih: al- muhâfadhah ala-l qadîmis shâlih wa-l
akhdzu bi-l jadîdi-l ashlah
senantiasa relevan sebagai bekal kaum santri menghadapi tantangan zaman yang
terus berubah.
Singkatnya, santri harus siap
mengemban amanat yang sangat berat, namun mulia: yaitu amanah agama dan tanah
air. Juga amanah kalimatul haq. Berani mengatakan “iya” terhadap kebenaran
walaupun semua orang mengatakan “tidak” dan sanggup menyatakan “tidak” pada
kebatilan walaupun semua orang mengatakan “iya”. Itulah karakter dasar santri
sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzaab ayat 72 yang bumi,
langit dan gunung tidak berani memikulnya.
إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ
فَأَبَيۡنَ أَن يَحۡمِلۡنَهَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَٰنُۖ إِنَّهُۥ
كَانَ ظَلُومٗا جَهُولٗا ٧٢
“Sesungguhnya
Kami telah amanatkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, semuanya enggan
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
Alhamdulillah, selama ini santri
sanggup mengemban amanat ini. Terbukti, walaupun Mbah Hasyim Asy’ari disiksa
Jepang untuk hormat ke arah matahari terbit (seikerei), beliau tegas menolak.
Kyai Wahid Hasyim hingga Gus Dur juga demikian, selalu menyatakan kalimatul haq,
tidak pernah tergiur dengan godaan duniawi apapun.
Allah berfirman dalam Q.S.
Al-Fathiir ayat 5:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقّٞۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ
ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ
“Hai
manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah
kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang
pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.”
Khusus untuk anak-anakku para
Santri yang saat ini turut larut dalam kegembiraan perayaan Hari Santri, kalian
adalah bagian penting sejarah perubahan bangsa Indonesia mendatang. Nikmati
kesederhanaan hidup di Pesantren, meskipun makan dengan lauk seadanya dan
sehari-hari mengenakan sarung dan sandal jepit. Sebab, tempaan yang kalian
terima di pesantren akan menjadi bagian penting sejarah hidup kalian untuk
menjadi pribadi yang mandiri, berempati dan berkarakter. Suatu pribadi yang
dibutuhkan dalam penegakan agama, pengelolaan bangsa dan negara
Akhirnya, mewakili santri
se-nusantara, saya Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
menyampaikan terima kasih kepada Presiden Ir. H. Joko Widodo yang sudah
menetapkan hari santri sebagai hari
nasional.
Saya tegaskan, penetapan hari
santri bukan intervensi pemerintah terhadap pesantren. Tetapi merupakan bentuk
penghargaan kepada santri dan kaum pesantren yang terus menanamkan keluhuran
akhlak dan kemandirian sebagai jati dirinya, sehingga membentuk karakter
bangsa.
Peringatan Hari Santri tahun 2018
ini juga terasa begitu istimewa. Karena seiring peringatan hari santri tahun
ke-empat ini ditetapkan RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagai
RUU usul inisiatif DPR. Penetapan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini
kita nilai sebagai berkah dan karunia agung dari Allah SWT. Nahdlatul Ulama
bersyukur dan menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak
yang telah berjuang melahirkan rancangan undang-undang ini di DPR.
Akhirnya, mari kita berjuang
bersama. Agar santri tidak hanya menjadi shoutul haq, melainkan sekaligus
menjadi qororul haq (pemegang kebijakan).
Selamat Hari Santri 2018. Terima
kasih Presiden Jokowi.
شكرا ودمتم في الخير والبركة والنجاح وهللا الموفق إلى أقوم الطريق
والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته
Jakarta, 22 Oktober 2018
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA.
Ketua Umum
Untuk mengunduh amanat Ketua Umum
PBNU pada peringatan Hari Santri Tanggal 22 Oktober 2018, silahkan Klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar